Rabu, 01 Juni 2011

Engkau

Engkau adalah kenangan yang tumbuh di taman hatiku...

Pada suatu pagi engkau datang...
bersama kerinduan seraya mengucapkan salam syahdu...

Engkau adalah warna terindah yang menghiasi cakrawala jiwaku...
Pada suatu malam engkau datang...
membawa secangkir teh hangat pelepas dahaga rindu...

Katamu:

“ Jangan pernah letih menebar Cinta...
Cinta yang engkau tebar akan menumbuhkan Cinta...

Jangan pernah berhenti berharap...

Di antara bait-bait do’a yang terucap...

Jangan pernah lelah menunggu...
karena semua asa hanya padamu...”

Rabu, 04 Mei 2011

Jika

Jika engkau merasa lelah,
lihatlah ke bawah
Ada sebuah sungai kecil yang menawarkan air pelepas dahaga...

Jika engkau sedang bersedih hati,
tataplah langit malam ini,
Ada bintang kecil yg tersenyum padamu dan akan setia menemanimu...

Jika engkau merasa kecewa,
pandanglah ke depan...
Ada seberkas cahaya, yang menawarkan berjuta harapan...

Jika engkau merasa sepi sendiri,
lantunkanlah ayat-ayat rindu,
Ada Allah yang selalu bersamamu...
Dan titipkan salam padaNya dalam doa agar harapmu berpadu...

Kuta Raja, 24 Maret 2011 ( Three month after The Day )

NB:
Kutuliskan puisi ini di antara kumandang azan menjelang subuh di saat kerinduan menyapa dan dinginnya air wudhu membasahi tubuhku, hingga menggigil tubuh ini menahan dinginnya rindu...:)






Sabtu, 23 April 2011

Doa Ibunda: antara pengharapan dan kekhawatiran...

Ibunda...
sungguh pertanyaanmu beberapa minggu yang lalu masih terngiang-ngiang dalam ingatanku, pertanyaan yang terlontar di antara pengharapan dan kekhawatiran...

Ibunda...
maafkan anakmu ini, bila sampai saat ini belum bisa membahagiakanmu...
memenuhi harapanmu yang satu itu...
Bukan karena ananda tidak memiliki keinginan untuk melangkah ke sana...
Tapi hingga saat ini ananda belum benar-benar menemukan seseorang yang mampu meyakinkan hati ananda untuk menitipkan sekeping hati ini,
seseorang yang mampu menuntun ananda agar selalu berada di Jalan Cahaya,
seseorang yang menjadi pendamping hidup terbaik yang dapat saling melengkapi, memberi nasehat, menenangkan hati dan menentramkan jiwa ,
seseorang yang memiliki kualitas terbaik sebagai seorang suami yang shaleh sekaligus sahabat sejatiku
dan seseorang yang mampu menjadi imam bagi keluarga dan menjadi ayah bagi anak-anakku kelak...

Ibunda...
Hanyalah keyakinan dan harapan yang mampu membuatku mampu bertahan
Keyakinan akan janji Tuhan: "...lelaki yang baik untuk perempuan yang baik..."
Harapan pada janji Tuhan atas buah kebaikan...

Ibunda...
Rencana Tuhan pasti lebih indah dari apa yang kita inginkan
Karena itu, kita tak perlu risau menanti keajaiban...
Kuingin terus memperbaiki diri dan terus mencari kebenaran...
Hingga di penghujung waktu menuju keabadiaan...


Ibunda...
Kumohon do’a darimu...
panjatkanlah selalu do’a kepada Allah,
Tuhan yang jiwaku, jiwanya, dan jiwa kita ada di dalam genggaman tangan-Nya...
Agar harapan kita berpadu dalam kenyataan dan kebahagiaan...

Sepotong Asa

Berselimut gelap
Bertemankan pengap
Ingin mengakhiri senyap
Kembali dalam dekap

Di kala lelahnya jiwa
Dahaga menyapa rasa
Mengetuk pintu
Sambil lantunkan salam syahdu
Ku hanya terpaku membisu…

Di suatu pagi yang sunyi…
Secercah cahaya menyergap lara
Menawarkan sepotong asa
Ku hanya diam terpana…

Dalam lirihnya kudengar pinta
Samar-samar kutatap matanya
Ada asa yang tak pernah sirna
Tapi hatiku tak mampu meraba
Mungkin ini hanya asa yang tersisa
Atau asa yang belum sempat diberi nama…

Banda Aceh, Juni 2009

Minggu, 17 April 2011

“Rumah Tanpa Jendela” di sudut kota Kutaraja.

Malam itu, Senin (11/4) saya berniat menelpon seorang teman, namanya Ika. Atas dasar ingin memenuhi panggilan alam( rasa lapar-red), saya ingin mengkonfirmasi kembali rencananya makan malam di luar yang sempat tertunda malam sebelumnya. Kebetulan malam itu, persediaan makanan di rumah saya sudah kosong. Sore itu saya tidak sempat membelinya apalagi memasaknya karena pulang mengajar sudah keburu magrib dan sehabis magrib saya juga ada janji dengan salah seorang siswa SMA yang dulu sempat les di tempat saya mengajar, yang sore harinya menelpon saya meminta ke rumah saya untuk konsul masalah PR. Malam sebelumnya Ika mengajak saya makan malam diluar tapi saya tidak sanggup lagi karena saya kecapekan setelah beraktivitas seharian di luar dan lagian di rumah ada banyak makanan. Saya baru dapat kiriman nasi maulid dari orang tua saya di kampung dan kebetulan kakak saya pun dapat oleh-oleh 2 kotak brownies “Amanda” dari temannya. Saya memintanya untuk ke rumah saya saja dan menunda rencananya itu hingga keesokan malamnya. Awalnya dia tidak mau tapi akhirnya setelah saya iming-imingi brownies, Ika ditemani adik perempuannya bersedia datang ke rumah saya.:)

Akhirnya setelah setelah janji konsul dengan sang siswa selesai, saya pun menelpon Ika untuk memastikan tempat dan waktu yang tepat untuk makan malam, sampai akhirnya kami sepakat untuk makan burger di depan Plaza Telkom di Jalan Daud Beureueh sambil internetan gratis.

Saya langsung meluncur ke TKP, kemudian selang beberapa menit Ika pun tiba di lokasi janjian. Kami langsung mengambil posisi duduk yang nyaman dan langsung memesan 2 porsi burger dan 2 teh botol. Sambil menunggu burger yang kami pesan, kami ngobrol-ngobrol membahas tentang rencana-rencana kami untuk beberapa waktu ke depan, dan Ika sempat mengingatkan saya tentang rencana yang sempat tertunda yaitu ingin mendirikan semacam yayasan atau lembaga yang bergerak di bidang sosial yang fokus ke masalah pendidikan anak-anak terutama anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi.

Ya, sebenarnya ide ini sudah lama kami wacanakan tetapi sempat mengendap di otak kami karena beberapa kendala yang sampai sekarang belum menemukan solusinya. Walaupun demikian kami sudah mulai menjalankan beberapa program yang sederhana tetapi belum terorganisir dengan baik. Kami mencoba mengumpulkan buku-buku dan baju-baju layak pakai dari teman-teman untuk disumbangkan ke orang-orang yang membutuhkan dan berhak menerimanya. Bahkan ada juga beberapa teman yang menitipkan uang jajan untuk anak-anak yang menjadi sasaran program kami.

Saat kami asyik berbincang-bincang sambil mencoba mengkoneksikan internet di netbook yang saya bawa, pesanan burger kami pun datang. Kami langsung menyantap burger tersebut sambil melanjutkan obrolan yang semakin melebar hingga ke masalah yang tidak penting untuk dibahas. Pada saat kami sedang menikmati burger itu, seorang ibu dan balitanya datang mendekati kami, tapi kami tidak ingin memberikan uang karena kami pikir ibu tersebut cukup sehat dan kuat untuk bekerja tanpa harus menjadi peminta-minta seperti itu. Dan dengan memberi isyarat dengan tangan sambil mengucapkan kata “maaf,Bu!”, cukup untuk membuat ibu tadi pergi meninggalkan kami. Akhirnya kami berhasil menghabiskan pesanan burger dan teh botol tapi karena koneksi internet tidak berhasil, kami memutuskan untuk segera beranjak pulang. Namun sebelum kami benar-benar angkat kaki dari tempat itu, tiba-tiba dua anak perempuan yang kami perkirakan usianya sekitar 9-12 tahun dengan motif yang sama seperti ibu yang sebelumnya, datang meletakkan amplop kosong di meja kami dan kemudian pergi mengedarkan amplop ke pengunjung yang lain. Kemudian saya merogoh saku rok saya sambil ngomong ke Ika, “Kasihan ya! Kita kasih aja, tapi sesuai dengan hasil wawancara...”. Dan Ika hanya tersenyum tanda setuju dengan apa yang saya maksudkan. Saya mengambil amplop itu dan membaca ada tulisan, “Mohon bantuan untuk anak yatim dan parkir miskin”. Saya sempat memperlihatkannya ke Ika dan kami tertawa penuh makna. Yang pasti setelah membaca tulisan itu, hasrat saya ingin mewawancarai mereka menjadi semakin membuncah.

Beberapa menit kemudian, saya melihat kedua anak itu berjalan kembali ke arah kami. Dan tanpa basa-basi mengambil amplop yang masih tergeletak di meja. Langsung saja saya menghentikan aksi pengambilan amplop itu dengan berkata dalam bahasa Aceh ,”Dek, amplop itu belum kakak isi, ke sini dulu duduk sambil kita ngobrol-ngobrol.” Dengan wajah ragu dan agak takut akhirnya mereka duduk meskipun di atas trotoar jalan. Saking penasarannya saya langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan pembuka dan Ika juga ikut menimpali dan menyimak jawaban anak-anak itu dengan seksama meskipun tak semua yang mereka jawab bisa Ika pahami dengan baik, karena kemampuan bahasa Acehnya yang terbatas. Kami menanyakan tentang nama, tempat tinggal, umur, keberadaan orang tua, sekolah, frekuensi dan alasan mereka melakukan aktivitas meminta-minta di malam hari seperti itu. Mereka menjawab pertanyaan kami dengan sedikit berbelit-belit sehingga kami harus mengulang dan menegaskan lagi pertanyaan-pertanyaan itu. Dari sesi wawancara awal kami mendapat informasi yang cukup membuat kami tidak ingin menghentikan aksi wawancara itu. Wawancara sempat saya hentikan sejenak, saya menanyakan apakah mereka sudah makan malam. Ternyata mereka belum makan. Karena di tempat itu tidak tersedia nasi atau pun menu yang lain selain burger dan omelet. Akhirnya saya memesan 2 burger dan mereka meminta dibungkus saja. Kemudian kami melanjutkan wawancara yang sempat terhentikan sebelumnya.

Salah satu anak perempuan tersebut bernama Yuna, usianya sekitar 10 tahunan, tapi masih duduk di kelas 1 SD. Yuna pernah tinggal kelas 2 kali artinya Yuna belum pernah naik kelas dan ternyata dari hasil investigasi yang lebih mendalam Yuna blm bisa membaca. Yuna sudah tidak punya ayah kandung lagi karena diculik OTK semasa Aceh dilanda konflik. Yuna tinggal di Kampung Jawa bersama Ibu, 3 orang adik-adiknya, 1 orang abang, dan bapak tirinya. Ibu dan Bapak tirinya itu bekerja sebagai pemulung.

Dan anak perempuan yang satunya lagi bernama Zahra, usianya sekitar 12 tahunan. Zahra sudah kelas 5 SD. Setelah kami tanya-tanya akhirnya dia mengakui bahwa dia sudah beberapa bulan tidak masuk sekolah alias bolos, sejak kepindahannya ke Kampung Jawa untuk tinggal bersama ayah dan Ibu tirinya. Ibu kandungnya Zahra sudah meninggal karena sakit asma. Sebelumnya Zahra tinggal di Neuheun ikut abangnya yang sudah menikah dan bersekolah di salah satu SD di Neuheun. Menurut penuturannya, ia mau pindah ke sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya sekarang. Kemudian kami tanyakan apakah sudah diurus surat pindahnya. Ternyata belum. Dan saya pun menyarankan untuk segera meminta orang tua atau walinya mengurus surat pindah itu sebelum terlambat. Kalau kelamaan tidak diurus, nanti tidak bisa diurus lagi. Artinya kalau dia ingin kembali bersekolah. Dia harus mengulang dari kelas 1 SD.

Sepertinya motivasi bersekolah mereka sangat rendah, bahkan dari penuturan Yuna yang membuat kami terperanjat bahwa Zahra biasanya baru bangun tidur pukul 12 siang. Saya menanyakan, “Kenapa bisa sesiang itu?Memangnya Zahra tidur malam jam berapa?”. Dari pertanyaan itu kami berhasil mengorek informasi yang mencengangkan dan mengkhawatirkan. Mereka biasanya melakukan aktivitasnya itu hingga pukul 12 malam dan bahkan kadang-kadang tiba di rumah pukul 2 dini hari. Mereka pulang dengan menumpangi becak, pernah juga dengan berjalan kaki dari Peunayong ke Kampung Jawa. Kami menanyakan, “ apa kalian tidak takut diculik atau dijahati oleh laki-laki yang usil?”. Sepertinya mereka tidak pernah berpikir sejauh itu, entah karena mereka tidak mengerti apa yang kami khawatirkan atau mereka yang masih terlalu lugu untuk mengerti seluk-beluk kehidupan ini. Tapi anehnya yang membuat kami tak habis pikir, menurut penuturan Zahra, “ Kalau keluar rumah di malam hari, Yuna itu kadang-kadang suka pakai lipstick mamaknya,Kak”.

Jelas saja kami kaget, karena anak sekecil itu sudah tahu pakai lipstick sementara kami berdua yang sudah berumur lebih dari seperempat abad saja belum dan tidak pernah terpikir untuk memakai barang itu. Setelah kami tanya-tanya, Yuna malah balas menuding Zahra, “Zahra kalau pergi meminta-minta, dia juga pakai bedak,Kak”. Dan lebih parahnya lagi, Yuna malah “menuduh” Ika pakai lipstick dan saya pakai lipsglos. Lalu kami menjelaskan bahwa kami tidak pakai lipstick atau lipsglos sambil menggosokkan tangan di bibir untuk menunjukkan bahwa kami tidak memakai pewarna bibir apapun dengan maksud bercanda untuk mencairkan suasana, saya berujar, “Kakak-kakak ini memang cantik alami.”:)

Kemudian mereka sudah lebih terbuka ketika kami bertanya tentang penghasilan yang mereka peroleh dari hasil meminta-minta. Mereka menargetkan hasil nya itu sebesar 40 ribu rupiah, kemudian dibagi 2 masing-masing mendapatkan 20 ribu rupiah tetapi pernah juga cuma dapat 20 ribu rupiah kalau lagi sepi. Setelah saya tanyakan, berapa rupiah yang sudah berhasil mereka peroleh. Salah satu dari mereka menjawab, “baru 5 ribu” , akhirnya kami memutuskan untuk memberikan sejumlah uang yang cukup bahkan melebihi target mereka dan kami menyuruh mereka pulang karena sudah hampir jam 10 malam. Kami meminta agar mereka tidak lagi melakukan aktivitas apapun di luar rumah pada malam hari karena itu tidak baik dan sangat berbahaya bagi anak perempuan seusia mereka yang seharusnya belajar atau menikmati istirahat bersama keluarga di rumah. Kami menyarankan agar mereka mencari aktivitas lain yang bisa menghasilkan uang dengan membantu orang-orang yang berjualan di warung seperti mencuci piring atau menjadi pramusaji sepulang sekolah atau sore harinya.

Satu hal yang paling membuat hati kami miris, ternyata dari hasil wawancara dadakan yang tidak terstruktur itu kami mendapatkan kenyataan yang sangat menyesakkan bahwa mereka tidak mengaji, tidak bisa membaca Alqur’an dan tidak melakukan sholat karena tidak bisa do’anya. Sampai saya menanyakan, “Kalian berdua beragama Islam bukan?” dan menegaskan lagi “Orang tua kalian beragama Islam juga?”. Terus terang saja saya mulai meragukannya karena Yuna yang berkulit gelap sepintas wajahnya mirip orang India, sepengetahuan saya di daerah dekat rumah saya itu ada komunitas Hindu dan sebuah pura. Zahra juga tidak menggunakan kerudung. Tapi mereka mengaku Islam meskipun mereka tidak bisa membaca Alqur’an dan tidak sholat. Mereka juga cerita, dulunya pernah ada seorang kakak yang kayak kami, suka ngumpulin anak-anak di daerah sekitar rumahnya itu untuk diajak belajar membaca/iqra’. Tapi sekarang sudah tidak pernah muncul lagi.

Karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan kami pikir hasil wawancara sudah cukup sebagai dasar untuk segera merealisasi “proyek akhirat” kami. Untuk memastikan bahwa kebenaran dari cerita mereka, Kami sepakat untuk menawarkan diri mengantar mereka pulang, kebetulan tempat tinggal saya bertetanggaan dengan Kampung Jawa. Lagian kami tidak yakin mereka bakal langsung pulang ke rumah. Awalnya, hanya Zahra yang bersedia kami antar meskipun dengan syarat: Zahra hanya mau di antar sampai lorong rumahnya, sedangkan Yuna tidak mau karena takut dimarahi abangnya yang akan menjemputnya nanti. Lucunya pada saat negosiasi berlangsung, Zahra sempat ngomong kalau Yuna agak takut dan curiga sama kami, Zahra sampai menjelaskan ke Yuna, “Yuna, ayolah...kita pulang dengan kakak-kakak ini. Udah baik-baik kakak ini mau ngantarin. Kakak ini bukan ibu-ibu walikota.” Kami kaget dan merasa tidak enak dengan ibu walikota ketika mendengar Zahra ngomong begitu.:)

Saya buru-buru mengklarifikasi kesalahpahaman anak itu, “Tenang Yuna...kami ini rakyat biasa, dan kami juga orang baik-baik” . Akhirnya setelah hampir setengah jam negosiasi dan kami bujuk-bujuk, Yuna yang sempat “ngambek” pun bersedia kami antar dengan catatan dia juga hanya mau diantar sampai jalan sebelum rumahnya.

Sebelum salah satu dari mereka berubah pikiran lagi, Zahra yang sedari tadi memilih berboncengan dengan saya dan akhirnya Yuna dibonceng Ika. Kami langsung menstarter motor dan meluncur ke arah Peunayong untuk menuju ke Kampung Jawa. Kami mengendarai motor beriringan. Ika melaju di depan saya. Ketika melewati jalan Keudah, seorang laki-laki yang juga sedang mengendarai motor berteriak membentak ke arah kami, “turun...turun, pulang ke Neuheun”. Saya kaget sekali, apalagi saat menyadari bahwa Zahra ketakutan seraya berkata, “Kak, jalan terus...”. Saya pun menanyakan pada Zahra, “Siapa lelaki itu, Zahra? Sepertinya dia marah-marah sama Zahra”. Zahra pun menjawab,”Itu abang Zahra,Kak”. Saya memutuskan untuk tidak mendengar saran Zahra, saya merasa abangnya itu lebih berhak terhadap adiknya itu. Dan saya juga takut kalau sampai abangnya itu salah paham dan berlaku kasar ke saya. Zahra tetap tak mau turun dari motor saya, sampai abangnya yang sudah emosi menyeretnya dari kereta saya hingga terjatuh di aspal. Zahra menangis lalu bangkit dan berlari ke arah saya yang sudah turun dari motor dan berdiri melihat insiden itu sambil mencoba berkomunikasi dengan abangnya yang nyaris kehilangan kontrol emosi dan meminta abangnya untuk sabar dan tidak mengkasari sang adik.

Zahra memeluk saya erat-erat, sampai-sampai saya merasa sesak dan terhuyung-huyung. Anak itu seakan-akan meminta perlindungan dari kejaran abangnya. Zahra bersikeras tidak mau pulang ke Neuheun, “Zahra pulang ke tempat ayah aja, ga mau pulang ke Neuheun” ujarnya . Saya menjelaskan pada abangnya tentang maksud kami mengantar pulang anak-anak itu. Syukurlah abangnya mengerti dan saya mencoba membujuk Zahra agar mau mendengar kata-kata abangnya, karena saya mulai paham akan maksud abangnya.Kata abangnya, “Di sana paginya Zahra bersekolah dan siangnya mengaji”. Orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar situ pada keluar rumah karena mendengar keributan itu dan ingin tahu apa yang terjadi?

Ika dan Yuna yang tadinya mendahului saya pun memutar balik ke belakang setelah menunggu saya dan Zahra yang tak kunjung menyusul mereka. Ternyata Ika mengkhawatirkan sesuatu yang buruk terjadi dengan kami. Ika menduga kami mengalami kecelakaan. Sesampainya di dekat kami Ika melihat adegan “KDRT di jalan raya” itu. Ika nyaris tidak mampu berbuat apa-apa melihat peristiwa ini. Ika mencoba menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada orang-orang yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

Sang Abang pun menjelaskan bahwa dia adalah saudara seibu dengan Zahra, dan memang sengaja mencarinya karena sudah sering kali dia mendapat informasi dari orang-orang sekitar yang mengenali mereka kalau Zahra suka meminta-minta sedekah di malam hari di kawasan Peunayong dan sekitarnya. Ternyata, sang abang sudah berulangkali melarang Zahra melakukan aktivitasnya yang tak lazim itu dan khawatir kalau sampai sang adik perempuannya itu “diganggu” oleh laki-laki jahat. Dan abangnya pun sudah mencium kabar tentang keberadaan laki-laki jahat yang mencoba mengganggu sang adik. Tapi Zahra yang keras kepala itu tidak menurut, dan tetap melakukan kegiatan meminta-minta itu.

Setelah bernegosiasi sejenak dengan Sang abang, akhirnya kami sepakat untuk tetap mengantarkan Zahra ke rumah bapaknya di Kampung Jawa. Biarlah nanti persoalan keluarga itu diselesaikan secara damai di sana dengan melibatkan bapaknya Zahra tentunya. Jalan menuju rumah mereka itu ternyata tak sedekat yang saya bayangkan seperti tidak ada ujungnya, sangat gelap, dan sunyi. Saya tak sanggup membayangkan kedua anak itu terkadang kalau hasil meminta-mintanya sedikit, mereka nekad pulang berjalan kaki dari Peunayong ke Kampung Jawa yang jaraknya hampir 3 km itu, mana di malam hari pula. Saya pikir hanya beberapa ratus meter dari rumah saya. Bahkan sewaktu wawancara tadi, ketika anak-anak itu mengatakan bahwa mereka berdomisili di Kampung Jawa, saya meminta mereka untuk main-main ke rumah saya di Peulanggahan pada hari Minggu. Dan kalau mereka tidak keberatan saya juga mau mengajari mereka membaca dan mengaji.

Setelah beberapa lama mengendarai motor menyusuri jalan tepi kali, sampailah kami di sebuah lokasi pengumpulan barang-barang bekas. Kami belum pernah melewati jalan itu. Dan baru malam ini kami mengetahui bahwa sebagian besar penduduk di daerah itu sudah sangat akrab dengan kehidupannya yang jauh di bawah garis kemiskinan itu.

Zahra yang saya bonceng meminta saya berhenti di depan sebuah lorong yang gelap dan sepi, “Kak, udah sampe ni.”. Saya heran dan bertanya,”Dimana rumah,Zahra?”. Dia menunjuk ke arah kiri jalan, sambil mengucapkan terima kasih dan langsung berlari ke arah rumahnya dan menghilang di kegelapan malam meninggalkan saya yang terpaku membisu. Ika yang sedari tadi berhenti di depan tak jauh dari saya, sempat heran juga melihat Zahra yang langsung kabur kayak takut dikejar setan. Tak lama setelah itu, Abangnya Zahra tiba di lokasi itu dan berhenti tepat di belakang motor saya dan menanyakan keberadaan adiknya. Dan setelah berbincang-bincang dengan kami sejenak, kami pun pamit untuk menemani Ika mengantar Yuna. Abangnya juga sempat mengucapkan terima kasih kepada kami.

Selanjutnya, kami mengantar Yuna, yang rumahnya terletak tidak terlalu jauh dari lorong rumah Zahra. Ika berhenti di sebuah gudang penampungan barang-barang bekas dan menurunkan Yuna. Saya juga ikut menghentikan motor saya di tempat itu dan mencoba melihat dan “menebak” dimana rumah Yuna. Karena saya tidak melihat bangunan yang layak disebut “rumah” di lokasi itu. Botol-botol bekas bergelimpanga dan sampah-sampah plastik bertumpuk sehingga membentuk gunungan-gunungan di sekeliling gudang penampungan. Ketika kami pamit pada orang-orang di sekitar gudang itu, lalu kami melihat Yuna balik menuju ke arah kami dan mengajak kami mampir ke rumahnya atas permintaan Ibunya. Ibu Yuna yang tadinya di dalam rumah pun keluar memanggil kami, meminta kami masuk dulu. Awalnya kami berusaha menolak secara halus, mengingat malam sudah semakin larut. Tetapi ibu, bapak serta adik-adik Yuna meminta kami singgah di rumah mereka. Akhirnya untuk menghormati dan menghargai Tuan rumah kami pun berniat turun hanya untuk menyalami ibunya Yuna dan berbasa-basi sebentar. Tapi karena mereka terus meminta kami masuk ke rumahnya, kami tak kuasa menolaknya. Saya pun masuk ke sebuah bangunan yang mengingatkan saya pada sebuah rumah yang dilukiskan dalam sebuah novel karya Asma Nadia yang sudah difilmkan. Padahal saya sangat ingin menonton film “Rumah Tanpa Jendela” itu. Saya seperti bermimpi malam itu, saya bukan hanya bisa menonton bahkan saya dapat masuk dan menyaksikan dari dekat rumah tanpa jendela itu secara nyata.

Bangunan yang mereka sebut rumah itu bukanlah bangunan yang terbuat dari beton atau semen melainkan terbuat dari papan dan tripleks bekas, beratapkan seng dan spanduk-spanduk bekas, mungkin yang juga mereka dapat dari memulung. Situasi dan kondisi di dalam rumah tidak jauh berbeda dengan di luar. Ruangan itu berukuran kira-kira 3 m x 1,5 m x 1,6 m. Tumpukan barang-barang perlengkapan dan peralatan rumah tangga tergeletak hampir di setiap penjuru ruangan. Sepertinya mereka tidak memiliki lemari. Sehingga pakaian dan buku-buku juga bertumpuk di sana sini. Kami duduk di sepertiga ruangan dekat pintu masuk yang ternyata digunakan sebagai dapur merangkap ruang tamu dan sekaligus kamar tidur ayah . Sisanya digunakan untuk kamar tidur anak-anak. Ketiga bagian rumah itu hanya disekat dengan kain.

Rumah itu bukan saja tidak memiliki jendela tetapi tidak memiliki fasilitas MCK yang memadai, sehingga sungai menjadi satu-satunya pilihan. Untuk keperluan air minum, kata ayahnya Zahra, beliau mengambil air di sumur bor dekat mesjid yang ada kuburannya, sepertinya mesjid yang dimaksud bapak itu adalah mesjid di dekat rumah saya. Ya, lumayan jauh juga. Rumah-rumah di kawasan itu memang seperti itulah adanya, tanpa sanitasi yang baik, tanpa asupan gizi yang cukup, tanpa pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan yang paling memprihatinkan adalah kebutuhan rohaniah/spiritual mereka sangat minim. Bahkan anak-anak itu tidak bisa membaca Al qur’an dan tidak bisa do’a sholat. Tapi kami tidak mengtahui pasti bagaimana dengan kondisi spiritual orang tuanya. Dari penuturan ibunya Zahra, mereka mulai bekerja memulung dan memilah barang-barang bekas itu dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore, bahkan kadang-kadang hingga malam hari.

Kami berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya Zahra tidak begitu lama,paling tidak kami sudah berhasil mendapatkan informasi awal yang cukup signifikan tentang kehidupan mereka yang sudah relatif lama mengakrabi sampah barang-barang bekas dan berdamai dengan kemiskinan. Karena jam sudah lewat jam 11 malam. Kami pun berpamitan.

Sepulangnya dari sana, saya sempat berhenti untuk berbincang beberapa menit di persimpangan menuju rumah saya sebelum kami berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing. Kami masih “shock” dengan apa yang kami alami dan saksikan malam itu. Kami seakan tak percaya, terutama tentang kondisi fisik tempat tinggal mereka. Saya berharap ini hanyalah mimpi. Mimpi tentang orang-orang yang terbuang dan termarginalkan.

Saya mengajak Ika menginap di rumah saya saja karena saya tidak tega membiarkannya pulang sendirian, dimana jalanan sudah mulai sepi. Tapi Ika tidak menerima ajakan menginap di rumah saya karena besok pagi-pagi Ika ada jadwal mengajar di Kampus. Dan saya pun mencoba menawarkan diri untuk menginap di rumahnya agar saya bisa menemaninya pulang tapi dia juga harus menemani saya mengambil perlengkapan menginap ke rumah saya terlebih dahulu. Mungkin Ika tidak ingin merepotkan saya, Ika berusaha meyakinkan saya bahwa dia berani pulang sendirian karena jalan ke rumahnya masih tergolong jalan protokol di kota ini yang nyaris tidak pernah sepi.

Beginilah wajah muram bumi pertiwi. Wajah anak-anak bangsa yang sejak lahir sudah mewarisi hutang, mengakrabi kemiskinan serta berdamai dengan keadaan dan kehidupan yang keras.

Saya yakin bukan hanya di sini melainkan di setiap sudut kota di seluruh pelosok negeri juga menyimpan cerita yang tak jauh berbeda. Mungkin selama ini, banyak orang yang menutup mata, telinga, bahkan hati. Bahkan sinis melihat mereka, menganggap mereka sebagai orang-orang malas tanpa mau bersikap lebih bijak, mencari tahu akar permasalahannya untuk bersama-sama mencari solusi. Kebanyakan dari kita menganggap bahwa ini hanya kewajiban negara sebagaimana yang tercantum dalam pasal 34 UUD 1945. Tetapi tahukah kita bahwa negara sungguh tidak berdaya atau mungkin saja mereka sudah tidak lagi punya nurani untuk peduli? Saya sesak ketika membaca berita di surat kabar, berapa banyak uang negara yang dihambur-hamburkan oleh para penguasa dan pejabat-pejabat baik di daerah maupun di pusat untuk keperluan yang sungguh tidak penting dan mengada-ada, untuk jalan-jalan ke luar negeri, beli mobil dinas yang harganya selangit, pembangunan gedung kantor yang mewah dan eksklusif, dan banyak program-program lainnya yang menguras kas negara demi memuaskan nafsu serakahnya.

Tak perlu menunggu pemerintah, tak perlu menunggu siapa-siapa. Mari kita berbuat sesuatu untuk kemaslahatan mereka, sebelum semuanya terlambat. Karena menurut berita yang pernah saya baca dari media cetak, komunitas seperti mereka sangat berpotensi untuk disentuh oleh pihak-pihak yang ingin melancarkan program-program misionaris baik kristenisasi maupun pendangkalan aqidah. sungguh ironis!Kalau sampai hal ini terjadi di sini, di bumi Serambi Mekkah.

Sepertinya, “proyek akhirat” yang sudah sekian lama kami gagas, harus segera direalisasikan. Hari Minggu kemarin, Saya, Ika, Nova, Lia, dan salah seorang anak privat saya bersilaturrahim ke rumah Yuna dan Zahra untuk melakukan investigasi lebih lanjut dan mengidentifikasi permasalahan sehingga kami bisa menemukan solusinya. Kami juga membawa sedikit makanan dan memberikan pakaian-pakaian layak pakai kepada keluarga Yuna dan Zahra. Pakaian-pakaian itu disumbangkan oleh anak-anak yang menjadi siswa les privat saya dan sebagian lagi sumbangan dari teman-teman saya.

Kami belum tahu pasti bagaimana cara meningkatkan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik. Setidaknya kami sudah mencoba dan berusaha melakukan apa yang kami mampu perbuat. Kami ingin mengadakan pegajian Iqra’, membaca Alqur’an dan mengajar membaca huruf latin anak-anak yang tinggal di daerah itu, sebagian besar mereka tidak mengikuti pengajian karena tidak mampu membayar biaya yang ditetapkan(uang lampu). Tetapi kami masih terkendala tempat, karena setelah kami menanyakan tentang keberadaan mesjid, musholla ataupun tempat yang cukup layak untuk kami melakukan kegiatan itu, ternyata di daerah dekat pemukiman mereka tidak ada mesjid ataupun musholla, mungkin karena mengingat daerah itu adalah daerah yang terkena dampak Tsunami 2004 yang cukup parah dan banyak penduduk yang keadaan ekonominya relatif lebih baik tidak mau kembali mendiami daerah itu, sehingga kebanyakan saat ini yang berdomisili di kawasan itu adalah komunitas pemulung dan peminta-minta seperti mereka.

Kami berharap semoga usaha kecil ini tidak sia-sia, dan paling tidak mampu mencegah mereka dari aktivitas yang merendahkan diri dan martabat mereka sebagai manusia yang berbudaya, serta mengingatkan mereka akan betapa pentingnya ilmu dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan walaupun kemiskinan begitu akrab dengan keseharian mereka. Karena kami yakin bahwa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang didukung oleh Keimanan dan ketaqwaanlah yang mampu menjadi senjata pamungkas untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan.

NOTE:

Semoga Postingan ini menjadi tambahan informasi bagi teman-teman tentang eksistensi suatu komunitas yang termarginalkan di bumi Aceh Darussalam sekaligus ajakan/himbauan untuk bergabung bersama kami, memberi bantuan baik secara material maupun spiritual.

Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca postingan ini. Harapan saya semoga mampu membuka mata hati kita sebagai wujud kesyukuran kita atas segala limpahan nikmat-Nya...

Salam Persaudaraan

Silviana

Rabu, 09 Maret 2011

Lentera Jiwa

Mimpi apa yang mengilhamimu untuk melacak jejakku
Yang telah lama pergi bersama desiran bayu
Menghilang di balik senja nan kelabu
Saat kau duduk termangu di balik bukit itu

Kudengar suaramu bergetar saat kau tahu aku harus segera pergi
Mencoba menahan laju langkahku yang tak mungkin surut lagi
Lentera jiwa menggiringku untuk segera beranjak dari sini

Selama aku pergi tak ada lagi tawa canda
Tiada lagi tatapan mata teduh memesona
Kukubur semua kenangan dan asa
Bersama secuil rasa tak bernama

Angin apa yang menerbangkanmu kembali datang padaku
bertemu di sebuah pagi yang bisu
Kulihat tenggorokanmu tercekat dan lidahmu kelu
Hanya hatimu yang bersenandung lagu rindu

Kubiarkan kau termangu
saat kau mencoba mengenali derap langkahku
Yang makin lama makin mendekatimu

Saat aku dalam kesedihan dan kehilangan harapan
Kau hadir bersama senyum yang tulus memecah kesunyian
Merangkai kata dan kalimat untuk mencairkan kebekuan

Ah cukup sudah…buang semua ragumu!
Kita sama-sama punya cerita seru
Kisah tentang Cinta, pengorbanan, luka, dan harapan


Caleufornia, 191109

Pertanda

Tuhan...
begitu panjang lorong waktu kehidupan yang telah kulalui
begitu banyak nikmat yang telah Engkau anugerahi
meskipun terkadang aku lupa untuk mensyukuri
begitu banyak orang yang melewati lorong sepi ini
Ada yang datang, ada yang pergi, dan ada pula yang kembali...

Dalam perjalanan kehidupan...
kadangkala orang-orang yang selalu bersama, tidak mampu kita pertahankan...
sementara orang-orang yang tak pernah kita duga, hadir mewarnai kehidupan...
Seiring berjalannya waktu...
semua misteri ini mulai menemukan titik temu...
semua keraguan menjelma menjadi harapan yang berpadu

Tuhan...
Kuyakin tak ada satupun peristiwa yang terjadi secara kebetulan
Semuanya terjadi karena telah benar-benar Engkau rencanakan
Engkau Maha Mengetahui, Engkau juga Maha Memaafkan
Saat aku sedang dilanda kegalauan dan kegelisahan
kucoba belajar untuk tidak menyesali sebuah pertemuan
dan berusaha untuk tidak meratapi perpisahan...
sambil memungut secuil hikmah dari sebuah jalinan persahabatan...

Saat sepotong dahan pohon harapan patah dan jatuh ke tanah...
Kau ganti dengan ranting yang lebih tegar menahan angin yang menerpa...
Saat seorang teman pergi meninggalkanku dalam resah...
kau kirim seorang pengganti yang menawarkan sejuta asa...

Apakah ini semua cukup menjadi pertanda?
Bahwa dia adalah 'malaikat' yang Engkau kirimkan untukku
Yang akan menghapus semua kesedihan
dan menepis segala kegalauan
serta membantuku melupakan mimpi-mimpi buruk
Yang selalu datang dalam tidurku...

Semoga suatu saat nanti besok,lusa atau entah kapan
Tuhan memberikan kesempatan kepadaku
untuk menemukan jawaban dari semua pertanyaan
tentang sejuta asa yang berkecamuk diruang hatiku

Tuhan...
jika dia yang terbaik untukku
bimbinglah diriku agar bisa mencintainya...
dan jika dia bukan yang terbaik bagiku
berilah pengganti yang lebih baik darinya...
dan anugerahkan seseorang yang lebih baik dariku
yang bisa membuat dia bahagia

Tuhan...
Ku yakin semua asa ini akan indah pada waktunya
tuntunlah hamba agar selalu ada di jalan Cahaya...
Jalan orang-orang yang yang diliputi bilangan Cinta-Mu
menuju taman orang-orang yang saling mencintai dan memendam rindu...

(Caleufornia, 151210)